Senin, 04 Oktober 2010

Ki Mastanu (Raden Tanujiwa)....

Ayang ayang gung
Gung goongna rame
Menak ki Mastanu
Nu jadi wadana
Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba anu giruk
Ruket jeung kompeni
Niat jadi (naek) pangkat
Katon kagorengan
Ngantos Kanjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong

Lagu tersebut merupakan lagu yang secara turun temurun dinyanyikan oleh barudak (anak kecil) di Tatar Sunda. Sekitar tahun 60-an Pa Ekik Barkah, mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Kesenian Universitas Padjadjaran, memodifikasinya menjadi suatu bentuk seni pertunjukkan teatrikal dengan nama Kaulinan Urang Lembur. Hingga sekarang pertunjukkan seni teatrikal Kaulinan Urang Lembur tersebut masih dimainkan oleh Lingkung Seni Sunda Universitas Padjadjaran (LISES UNPAD), terutama dalam kegiatan Pementasan Mandiri Lises Unpad dengan nama Kaulinan Barudak Baheula.


Lagu Ayang Ayang Gung ini merupakan salah satu lagu yang sarat makna dan kritik sosial. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan orang Sunda yang suka menyindir, ketika menghadapi sesuatu yang tidak disukai biasanya memberikan sindiran-sindiran halus. Sehingga tidak sedikit karya-karya baik itu berupa lagu kakawihan, pupuh, maupun pantun (sisindiran) yang lucu, namun juga mengandung sebuah kritik atau saran yang tajam dan brilian yang disampaikan secara halus. Matakna orang Sunda mah jarang demo, hehehehe,,,, Hurip Sunda!


Lagu Ayang Ayang Gung tersebut menceritakan seorang tokoh menak (bangsawan) bernama Ki Mastanu yang menjadi wadana (bupati), namun bertingkah olo-olo (belagu), dan karena kedekatannya dengan kompeni (Belanda) banyak masyarakat yang giruk (membencinya). Yang berniat naik pangkat, sehingga menunggui kanjeng dalem, dan dengan segala gerak akrobatik politiknya menghalalkan segala cara, agar langkah politiknya lancar tidak terhambat sedikit pun ke Batavia. Lempa lempi lempong ngadu pipi jeung nu ompong, jalan ka batawi ngemplong.


Ki Mastanu yang ada dalam lirik lagu Ayang Ayang Gung tak lain adalah Raden Tanujiwa, seorang Sunda asal Sumedang. Tahun 1687 Tanujiwa mendirikan perkampungan di Parung Angsana, sebelumnya beliau mendapat tugas dari Camphuiis untuk membuka hutan Pajajaran. Kampung di Parung Angsana itu kemudian diberi nama Kampung Baru, tempat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Beberapa kampung lain yang didirikan oleh Raden Tanujiwa adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dimana Kampung Baru menjadi pusat pemerintahannya.


Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai kepala Kampung Baru dan kampung lainnya yang berada di hulu Ciliwung. De Haan sendiri memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari Raden Tanujiwa (1687-1705) walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik dilakukan tahun 1745. Tahun 1745 sembilan buah kampung digabung menjadi satu pemerintahan dibawah Kepala Kampung Baru bergelar Demang, gabungan kampung itu diberi nama Regentschap. Yang kemudian menjadi Regentschap Buitenzorg tahun 1740.


Tanujiwa, seorang Sunda dari Sumedang, berhasil membentuk pasukan pekerja untuk membuka hutan Pajajaran. Ketika itu beliau bergelar ”Luitenant der Javanen” (letnan orang-orang Jawa dan merupakan letnan senior diantara teman-temannya). Garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dan kompeni ketika pangeran Purbaya dari Banten membangun pemukiman di aliran Cikeas. Daerah antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati pasukan Mataram, pimpinan Bahurekso dan sebagian lagi pasukan kiriman Sunan Amangkurat I. Tahun 1661 basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Batavia.


Raden Tanujiwa menghentikan pembukaan lahannya pada sisi utara Ciliwung, dan menyarankan agar pembukaan lahan dilakukan di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua). Kemungkinan besar, tindakan Tanujiwa ini didasari penghargaan yang besar terhadap Pakuan.
Lambat laun rasa cinta terhadap Pajajaran dan terhadap masyarakatnya mulai terpupuk, ia mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat mengganggu kompeni. Apalagi perasaan bencinya terhadap Scipio, yang notabenenya seorang sersan, yang sering memerintah dengan semena-mena padahal jabatan Tanujiwa lebih tinggi (letnan). Hal tersebut menimbulkan kesadaran akan kesamaan nasib sebangsa dalam diri Tanujiwa. Tanujiwa membantu pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Perwatasari, dan balik mengangkat senjata melawan kompeni. Walaupun pada akhirnya kalah, dan Tanujiwa dibuang ke Tanjung Harapan (Afsel).

Karena pemberontakan tersebut, dalam Babad Bogor (1925), yang dibuat pada masa kolonial, tidak mencantumkan nama Tanujiwa sebagai bupati pertama. Dalam Babad tersebut dicantumkan Mentengkara atau Mertakara kepala Kampung Baru yang ketiga (1706-1718) sebagai bupati pertama Bogor. Ia adalah putera Tanujiwa (menurut Den Haan).


Mungkin itulah sedikit ulasan mengenai Tanujiwa, dan kaitannya dengan kakawihan barudak Ayang Ayang Gung. Tanujiwa mengejar harapan kosong, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (kekuasaan). Bahkan ia rela menggadaikan harga dirinya kepada penjajah, dan diperlakukan semena-mena oleh orang Belanda yang notabenenya berpangkat lebih rendah. Hingga pada akhirnya Tanujiwa sadar, kemudian bersama-sama mengangkat senjata melawan penjajah.


Cerita Tanujiwa dalam lirik Ayang Ayang Gung ini sepertinya akan hidup lama di Tatar Sunda, dimana orang-orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Menak yang mendapat kedudukan prestise dalam masyarakat malah seringkali melupakan masyarakat dan sibuk mengejar kekuasaan. Di sisi lain menak ingin dihargai sebagaimana mestinya. Ironi memang, karena itulah yang terjadi. Lihat saja perilaku calon wakil rakyat maupun calon pemimpin kita yang tak jarang melakukan perbuatan rendah, suap-money politic-fitnah-nepotisme-anarki.


Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong

Cag Ah….!


bahan bacaan :
- kumpulan catatan nu aya di rumah, teu jarelas... hehehe...
- http://budayabogor.tripod.com/sejarah.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar