Sabtu, 02 Oktober 2010

Mengenal Haji Hasan Mustapa


Agaknya telinga kita masih asing mendengar nama yang satu ini. Padahal seabad lalu namanya memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di Nusantara, khusunya bagi masyarakat Sunda.Kini namanya diabadikan sebagai nama jalan PHH Mustapa (jalan Suci).
Haji Hasan Mustapa (HHM) merupakan seorang pemuka agama sekaligus seorang pujangga. Karya-karyanya bercerita mengenai Islam yang dirangkaiankan dalam bentuk guguritan (bentuk puisi dalam Sastra Sunda), Biasanya disebut ngadangding yaitu membuat puisi dengan bentuk pupuh, karena setiap pupuh memiliki watak, guru wilangan, dan jumlah padalisan yang berbeda-beda.
Beliau dilahirkan di Cikajang, Garut bulan Syaban 1268 H (Juni 1852). Semasa kecilnya, HHM yang merupakan putra dari Haji Usman (Mas Sasramanggala), pernah belajar bersama putra para menak di rumah K.F Holle. Tidak lebih dari 4 bulan belajar, Haji Usman mengajak putranya (9 tahun) naik haji ke Mekkah. Padahal K.F Holle menyarankan agar HHM melanjutkan ke sekolah.
Haji Usman khawatir anaknya menjadi seperti Belanda dan berganti agama, maka dari itu beliau lebih memilih anaknya belajar agama dan mengajaknya naik haji ke Mekkah. Haji Usman bekerja pada K.F Holle dan selama 15 tahun memiliki pangkat sebagai Camat Perkebunan.
Di Mekkah beliau menetap selama setahun untuk belajar Al-Fatihah dan Attahiyat pada Syeikh Mukri. Sepulang dari Mekkah, HHM melanjutkan belajar agamanya ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang.
Pada tahun 1882 HHM dipanggil pulang ke Garut oleh R.H. Muhammad Musa, Hoofd Penghulu Garut pada masa itu untuk meredakan ketegangan-ketegangan diantara para ulama di Garut.
Pada tahun ini juga HHM diangkat menjadi Godsdienstleeraar di Garut. Godsdienstleeraar yaitu sebutan untuk guru agama. Pemerintah Belanda takut pemberontakan yang terjadi di Sumatera dan Banten berulang. Maka dari itu Pemerintah Belanda membuat beberapa aturan bagi umat Islam, diantaranya aturan-aturan yang membatasi naik haji. (karena adanya anggapan seseorang yang telah menjadi haji biasanya menjadi kepala pemberontakan). Selain itu Pemerintah Belanda juga membuat aturan yang mewajibkan bagi setiap orang yang ingin mengajar agama Islam untuk meminta ijin terlebih dahulu. Namun, Godsdienstleeraar tidak berarti antek atau orang yang tunduk kepada Belanda, karena mereka tidak dberi gaji oleh Belanda. Selama tujuh tahun HHM menjadi guru agama di Garut, di Mesjid Agung Garut.
Berkat usahanya dibantu oleh R.H. Muhammad Musa dan Holle bentrokan paham antara para ulama di Garut dapat diredakan. Ketika itu HHM telah banyak berkenalan dengan para orientalis Belanda, diantaranya Holle, Brandes, Rinkes, dan Snouck Hurgronye (telah dikenalnya selama di Mekkah). Karena pengetahuannya yang luas tentang agama islam, pada tahun 1889 Snouck Hurgronye meminta HHM untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Ketika itu Snouck adalah penasihat pemerintah Belanda tentang masalah-masalah orang Indonesia dan Arab. Catatan perjalanan Snouck itu dimuat dalam BKI nomor 101 tahun 1942 halaman 311-324 dengan judul “Aantekeningen over Islam en Volklore in West en Midden Java.” Selama tujuh tahun HHM menjadi pembantu Snouck Hurgronye.
Pada tahun 1893 atas usul Snouck, pemerintah Belanda mengangkat ia menjadi Hoofd Penghulu di Aceh. Ketika itu masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang kritis terhadap segala permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan Islam. HHM dianggap tokoh yang tepat untuk mengatasi hal ini. Hubungan antara HHM dan Pamarentah Belanda di Aceh kurang baik, sehingga jabatan ini hanya dipangkunya selama dua tahun. HHM pun kembali ke tanah kelahirannya Priangan.
HHM menjadi Penghulu Besar di Bandung mulai dari bulan september 1895 sampai pensiun di tahun 1918. Saat tinggal di Bandung HHM banyak menulis, karya-karyanya kebanyakan ditulis antara tahun 1900-1902.
Sayang sekali karya-karyanya tidak dicetak, padahal pada masa itu sudah terdapat mesin cetak. HHM menggunakan kebiasaan tradisional pesantren dalam menyebarkan naskahnya. Karyanya dipersilahkan untuk disalin oleh yang menyukainya, sehingga akhirnya menyebar diantara para pengikutnya.
Pemikiran HHM mengenai Islam tidak jarang bersebrangan dengan para ulama Jawa lainnya. Tidak sedikit protes dan pertanyaan kritis dari para ulama ataupun dari umat Islam yang menyerang dirinya. Yang paling sering adalah pertanyaan mengenai pertemanannya dengan Dr. Snouck Hurgronje. HHM dianggap membantu Snouck yang dianggap akan membongkar akar-akar keIslaman orang pribumi. Snouck dianggap mengemban misi kristenisasi. Namun sayang pertanyaan itu tidak disampaikan secara langsung, malah kebanyakan diajukan melalui surat kaleng. Surat seperti itu bahkan pernah dimuat pada surat kabar Arab di Mesir. Padahal menurut Kern, ketika beliau masih bermukim di Mekah, HHM telah mengajar ulama-ulama yang berdatangan dari seluruh Jawa. Ia mengajar bahasa Arab dan soal-soal keagamaan. Oleh karena itu ia dikenal dan dihormati oleh ulama-ulama di seluruh Jawa, dan menjadi tempat bertanya serta tempat meminta nasihat bagi penghulu-penghulu Priangan.
Hal yang tidak kalah kontroversial pada masanya adalah prosesi penguburan salah satu anaknya yaitu Toha Firdos. Selama hidup Toha Firdos menggemari musik keroncong. Sampai akhir hayatnya Toha memimpin sebuah kelompok musik keroncong “Sangkuriang”. Rombongan kelompok musik inilah yang mengiringi almarhum sampai ke liang kuburnya.
Munurut Ajip Rosidi, kebanyakan karya-karyanya yang sekarang beredar, sebagian besar merupakan hasil rekapan atau salinan dari juru tulisnya yang kedua yaitu R. Wangsaatmadja (WA)(1923-1930). Sebelumnya HHM memiliki juru tulis bernama Wangsadihardja sekitar tahun 1900-1902. sulit sekali untuk melacak naskah-naskah asli karyanya, karena semua naskah asli HHM (yang disimpan WA) yang ditulis dalam aksara Arab Pegon dibakar oleh WA setelah disalin ke aksara latin. WA menganggap tidak perlu menyimpan naskah aslinya, dan HHM telah menyutujuinya. WA menceritakan semua naskah ditulis dalam aksara Arab Pegon karena HHM tidak bisa menulis dalam aksara Latin.
Berikut ini adalah beberapa karya dari HHM ; Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Liana ti Éta (1913), esei tentang suku Sunda, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Belanda (1977); Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan (Hadis Mikraj, tahun 1928); dan Syekh Nurjaman (1958). Masih banyak karya-karyanya yang diterbitkan dalam bentuk stensilan, disamping karya-karyanya yang dipublikasikan  kepada kalangan terbatas.


Sumber Bacaan ;
  1. Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana. Ajip Rosidi. Penerbit Pustaka. Bandung. 1989.
  2.  

                   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar