Minggu, 23 Januari 2011

PLTA BENGKOK

PLTA BENGKOK


Begitulah nama PLTA yang terletak di selatan Taman Hutan Raya Ir. Djuanda (Tahura). PLTA ini menggunakan aliran air sub sungai Cikapundung, yang dialirkan melalui parit-parit seperti sungai buatan. Salah satu jalur melalui Goa Belanda, goa yang pada awalnya (1918) difungsikan sebagai terowongan air.


Sejak pertama kali dibangun oleh Perusahaan Tenaga Air Negara Dataran Tinggi Bandung (Landiswaterkrachtbedijf Bandung en) pada tahun 1923, PLTA Bengkok merupakan salah satu sumber penyuplai listrik untuk Bandung dan sekitarnya. Pada tahun yang sama pula PLTA Dago dibangun pada aliran sungai Cikapundung.

Dari Tahura kita harus menuruni rangkaian anak tangga yang berjumlah seribu (coba hitung sendiri).  Atau coba berjalan di atas pipa-pipa raksasa yang terbuat dari baja (kalo berani !) untuk sampai di lokasi PLTA Bengkok.


Pipa-pipa raksasa itu sudah pensiun menjalankan tugasnya sebagai penyalur air, karena ketebalannya sudah banyak berkurang.

Dari sini air yang dialirkan melalui pipa-pipa raksasa itu digunakan untuk memutar turbin dan menggerakkan generator. Produksi listrik pun berlangsung. sementara air sisa kegiatan produksi digunakan oleh PDAM.

Kini PLTA Bengkok berada dalam pengelolaan PT. Indonesia Power, anak perusahaan negara (BUMN) PLN. PLTA ini berfungsi sebagai penghasil listrik, namun kita tidak akan mengetahui kemana listriknya dialirkan. Ini sesuai dengan penjelasan dari Pa Luthfi (Indonesia Power), “sistem pengaliran listrik yang digunakan adalah interkoneksi, dimana aliran listrik yang dihasilkan dari beberapa PLT dikumpulkan terlebih dahulu sebelum kemudian didistribusikan”.

Tanah Bengkok atau Bangkok?
Lama saya memiliki anggapan kalau nama  Bengkok yang dipakai berasal dari nama Bangkok (Thailand atau Muangthay). Ini merujuk pada kedatangan Raja Rama VI di Bandung. Kemudian membuat prasasti di Curug Dago.
Namun setelah melalui beberapa obrolan bersama teman-teman di Komunitas Aleut! Didapatlah satu pencerahan mengenai asal kata Bengkok.
Bengkok yang dipakai merujuk pada kata Tanah Bengkok, diartikan sebagai lahan garapan milik desa. Dalam sistem agraria di Pulau Jawa Tanah Bengkok tidak boleh diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh warga desa, namun boleh disewakan oleh mereka yang memiliki hak mengelola (Wikipedia).
Menurut penggunaannya Tanah Bengkok dibagi menjadi 3 kelompok :
  1. Tanah Lungguh, hak pamong desa untuk menggarapnya sebagai kompensasi gaji yang tidak dibayarkan.
  2. Tanah Kas Desa, dikelola oleh pamong desa. Digunakan untuk mendanai keperluan desa.
  3. Tanah Pengarem-arem, hak pamong desa yang sudah pensiun sebagai pengganti jaminan hari tua. Pengelolaannya sampai meninggal, untuk kemudian dikembalikkan ke desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar