Senin, 04 Oktober 2010

Curug Cibareubeuy

Dari atas Bukit Patapaan terhampar sebuah keindahan yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh saya. Diapit oleh hijaunya pegunungan, nampak air terjun (curug) dengan ketinggian +150 m dengan kontur bertingkat-tingkat. Curug paling bawah memiliki ketinggian + 40 m.


Perjuangan yang menguras tenaga untuk sampai di puncak Bukit (Gunung) Patapaan. Jalanan tanah merah yang licin akibat longsor dengan tanjakan curam hampir 60 derajat. Matahari yang enggan berkompromi menjadikan peluh keringat mengucur deras. Kami berdelapan (saya, BR, Bey, Candra, Indra, Pei, Riska dan Cicih) agak kewalahan menghadapi jalur yang langsung menanjak. Dengan perut yang kosong kami menaiki bukit menyimpan banyak cerita. Beruntung otak kami berisi. Hehehe....

Pemandangan yang luar biasa merupakan hadiah akan perjuangan kami. Tepat di atas puncak bukit terdapat sebuah lapangan luas, biasa dijadikan tempat berkemah. Beberapa pos pantau, yang juga berfungsi sebagai rest area, masih berkondisi baik dan layak. Beberapa batu besar nampak di sebelah kiri perjalanan, ada yang aneh bagi kami karena di sekitarnya dibangun bedeng. Pak Ruhiat (55 tahun) menjelaskan bahwa itulah yang disebut sebagai Situs Patapaan, tempat orang-orang bertapa (berkontemplasi meureunan) mencari petunjuk dari Sang Maha Gaib.

Beruntung perjalanan selanjutnya relatif mendatar menyusuri hutan. Tepat di pintu masuk Objek Wisata Curug Cibareubeuy terdapat sebuah gazebo dan pos masuk. Menandakan bahwa objek wisata ini sempat hidup beberapa tahun kebelakang. Dari pos penjagaan ini kita mengikuti jalan setapak yang telah dipelur, beberapa titik rusak akibat longsoran. Akantetapi, jalan ini tidak menuntun sampai ke lokasi Curug. Selanjutnya kita harus mengikuti jalan setapak yang licin dan bertanah gembur. Setelah melewati daerah penanaman Kapol, kita akan menjumpai perkebunan Waluh, hutan bambu hingga pada akhirnya vegetasi pinus dengan aromanya yang menyegarkan.
Setelah sekitar 2 km berjalan, kita akan menjumpai sebuah pemondokan. Letaknya tepat di kiri aliran sungai, konstruksinya menggunakan bambu dan kayu-kayuan. Terdapat beberapa blok kamar-kamar dengan sebuah lapangan di tengah-tengahnya untuk api unggun. Pemondokan ini merupakan pemondokan pribadi, dikelola oleh Pak Rosid. Dari sini suara gemuruh air sudah terdengar. Sekitar 1 km perjalanan menuju curug semakin jelas, dari kejauhan berdiri tebing tinggi tempat air berjatuhan. Kami harus pandai mengambil jalur, dan berjalan menyebrangi sungai berpindah dari kiri ke kanan begitu sebaliknya.

Tepat di curug, kami langsung beraksi, mengambil gambar, bergaya dan ngemil... Saya sendiri kabita untuk berbasah-basah ria....

Setelah puas menikmati dinginnya air yang jatuh bergemuruh, kami langsung pulang..
Jalur pulang kami mengambil jalan yang berbeda, kali ini kami menyusuri punggungan gunung. Di seberang kanan kami, Gunung Hanoman nampak jelas terlihat, tebing-tebingnya yang curam, di sanalah para monyet hidup bebas. Sejauh mata memandang, panorama gunung, dan lembahan yang hijau menyejukkan mata.

Sekitar 1 jam perjalanan pulang, di tengah perjalanan kami menengok makam Aki Ingi dan bercengkrama dengan Pak Babang (70 tahunan). Sekedar ingin mengorek cerita sekitar desa Cibeusi.

Setelah makan ala kadarnya di warung, nasi tahu tempe sambal, kami melanjutkan perjalanan menuju Curug Kapulaga dan Cimuja dan Curug Sadim di daerah Panaruban. Sayang dua curug sudah lewat jam bukanya, sehingga hanya Curug Sadim-lah yang kami kunjungi. Curug ini memiliki ketinggian sekitar 8,5m. Berbeda dengan dua curug sebelumnya, curug ini merupakan curug alami bukan curug hasil bendungan. Di curug ini kami belajar mengenal berbagai macam pepohonan dan tanaman, warga desa secara swadaya membangun objek wisata ini dan berinisiatif membangun sebuah eko-wisata lengkap dengan edutainmentnya. Bermain sambil belajar pada intinya mah...






“Lembur Singkur”

Aliran air terjun yang deras itu membentuk aliran sungai yang jernih, memberi kehidupan bagi warga sekitar Desa Cibeusi, Subang.

Sebuah desa kuno, yang konon didirikan oleh seorang pelarian dari Sumedang Larang. Pelarian seorang putri yang disakiti hatinya karena suaminya berpoligami (nyandung). Menurut cerita Pak Babang (70 tahunan), suami dari putri tersebut nyandung di Mataram Kuno. Dari sinilah muncul sebuah aturan normatif bagi warga desa, yaitu larangan nyandung (poligami). Sang perintis desa kini dimakamkan di Cibeusi, lazim disebut Aki Kasih. Setelah mengalami beberapa peperangan kecil, desa ini sempat ditinggalkan.

Kemudian muncul seorang “Aki Ingi” yang merintis kembali desa ini, dan beranak cucu di desa ini. Sama halnya dengan makam “Aki Kasih” makam Aki Ingi pun dikeramatkan oleh warga Desa Cibeusi. Bahkan tempat ini seringkali dijadikan tempat pangziarahan warga dari luar desa. Letaknya di puncak bukit Patapaan, sekitar beberapa puluh meter dari lokasi Batu Patapaan (situs lain yang dikeramatkan).

Sebagian besar mata pencaharian warga desa adalah bertani dan berladang, sebagian kecil lagi beternak. Akses jalan ke desa ini cukup baik, karena lokasinya yang berdekatan dengan objek wisata Ciater. Sekitar 5 km dari jalan Ciater, jalanan aspal akan berhulu gerbang Desa Cibeusi. Desa ini pun tak luput dari perhatian dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, desa ini dibuka jalur mengitari gunung-gunung tembus ke Subang, kemungkinan besar ada juga jalan menuju Sumedang. Sisa-sisa bebatuan (koral) di jalan-jalan yang mengarah masuk ke hutan mungkin sedikit memberi petunjuk.

Sebuah “lembur singkur” yang berhadapan langsung dengan Gunung Karamat, Gunung Puncak Eurad, Pasir Dangdeur dan Gunung Hanoman yang salah satu punggungannya diberi nama Ceko. Konon nama Ceko itu berkaitan dengan peristiwa hilangnya dua wisatawan asing asal Cekoslovakia. Dua wisatawan yang tergila-gila oleh sebuah cermin yang ditemukan di dalam gua di sekitar Gunung Hanoman. Karena keserakahannya dua wisatawan itu hilang seiring dengan ambruknya dinding gua. Hutan-hutannya yang masih perawan, seiring dengan dikeramatkannya gunung-gunung tersebut. Warga desa tidak berkegiatan dalam perambahan hutan, seperti penebangan kayu. Dibalik Curug Cibareubeuy terdapat sebuah hutan yang masih menyimpan banyak cerita, di dalamnya masih dapat diketemukan hewan-hewan buas. Maung, monyet, babi hutan, dan burung-burung langka masih dapat diketemukan disana. Namun secara tidak tertulis jelas disebutkan bahwa Gunung itu terlarang. Yah, itulah Gunung Lingkung. Banyak peristiwa mistik muncul dari sana, mengenai orang yang “kasarung” sehingga tidak bisa pulang kembali atau peristiwa jatuhnya orang ke jurang.

Pengelolaan hutan berada di bawah BKPH Cisalak KPH Bandung Utara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Keadaan topografi sebagian wilayah berada di ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa kaki gunung dimanfaatkan sebagai daerah berladang di bawah pengawasan Perhutani. Tanaman Kapol (Kapolaga), Jotang, Honje, yang ditanam warga sudah sejak lama dipasarkan ke produsen pembuat obat (batuk). Daerah pesisir sungai dimanfaatkan sebagai sawah (serang). Di kawasan hutan terhampar lautan pinus yang memberikan aroma menenangkan.
Mungkin itulah sedikit cerita mengenai sebuah desa kuno, yang masih bertahan di tengah gencarnya kegiatan pariwisata Ciater. Dibalik gemerlapnya villa-villa Ciater, dengan segala kompleksitasnya.

1 komentar: